Dalam
khotbah di bukit ini, Tuhan Yesus menekankan bahwa kehidupan yang bahagia
adalah hasil atau akibat dari sikap hidup yang tepat. Ada 9 sikap hidup yang
tepat dan masing-masing sikap hidup itu membawa kebahagiaan tersendiri. Mari
kita lihat:
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan
Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga" (Matius 5 : 3)
Hidup bahagia
adalah keinginan semua orang. Allah Bapa kita pun menginginkan manusia hidup
bahagia. Kenyataannya adalah manusia beranggapan kebahagiaannya tergantung dari
apa yang dimilikinya, terutama berapa banyak harta yang dimilikinya. Dengan
demikian dalam konsep manusia adalah: kaya identik dengan bahagia, miskin
identik dengan tidak bahagia. Manusia tetap ngotot dengan konsep ini, meskipun melihat
amat banyak bukti bahwa konsep itu salah. Tuhan Yesus mengajarkan konsep Allah
tentang kebahagiaan: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah."
Miskin di hadapan Allah tidak berkaitan dengan kaya atau miskin harta dunia,
tetapi berkaitan dengan sikap hidup. Orang yang miskin di hadapan adalah orang
yang hidup dengan kesadaran bahwa dia tidak mempunyai kemampuan apa pun untuk
mengatur hidupnya, karena itu dia berserah sepenuhnya dan bergantung sepenuhnya
ke pada Allah. Artinya: si kaya tidak mempercayai hartanya dan sebaliknya si
miskin tidak putus asa karena tidak memiliki uang. Orang-orang yang seperti
inilah disebut miskin di hadapan Allah, dan mereka bahagia karena mereka
memiliki Kerajaan Sorga. Bila sdr kaitkan ayat ini dengan Matius 6: 33, maka
sdr bisa tahu bahwa miskin di hadapan Allah adalah cara untuk mencari kerajaan
Sorga dan cara untuk berkecukupan dalam segala sesuatu dan itulah kebahagiaan.
"Berbahagialah orang berdukacita, karena mereka
akan dihibur" (Matius 5 : 4)
Semua orang
ingin bergembira, Tuhan pun ingin agar kita bersukacita, bahkan Tuhan
memerintahkan agar kita senantiasa bersukacita (1 Tesalonika 5: 16 è"Bersukacitalah
senantiasa"). Tetapi Tuhan Yesus juga berkata: "Berbahagialah orang
yang berdukacita." Bisakah orang pada saat yang bersamaan bersukacita dan
berdukacita? Jawabnya adalah: Kita harus bersukacita untuk apa dan harus
berdukacita untuk apa? Kita harus bersyukur dan bersukacita untuk semua
anugerah yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Tetapi kita harus berdukacita
melihat keadaan dunia sekeliling kita yang penuh penderitaan, dosa dan
kebinasaan. Orang dunia tertawa melihat dosa, bahkan bersukacita di atas
penderitaan orang lain atau di atas kematian orang lain. Orang Kristen harus
melihat keadaan dunia ini dari pandangan Tuhan. Tuhan berdukacita melihat
keadaan dunia ini, maka seharusnya kita pun berdukacita melihat penderitaan dan
dosa dunia ini. Dukacita Tuhan menyebabkan Tuhan melakukan sesuatu untuk
menolong dunia ini, itu sebabnya Tuhan Yesus lahir sebagai manusia. Bila kita
berdukacita terhadap keadaan dunia disekitar kita, maka kita pun mau tidak mau
akan melakukan sesuatu untuk menolong dunia di sekitar kita. Bila kita
melakukannya, maka kita berbahagia dengan penghiburan yang dari Tuhan sendiri.
"Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena
mereka akan memiliki bumi" (Matius 5 : 5)
Di dunia ini
berlaku hukum siapa kuat dia yang menang. Si kuat menindas yang lemah. Dalam
pengertian dunia, lemah lembut adalah cara seseorang berkata-kata. Itu sebabnya
di dunia orang berkata-kata dengan lemah lembut, tetapi tindakannya kejam
terhadap sesama. Jikalau lemah lembut hanya berkaitan dengan cara berkata-kata,
maka Tuhan Yesus bukanlah orang yang lemah lembut, contohnya perkataanNya yang
begitu keras terhadap orang Farisi ("Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik ...... dst" - Matius
23) yang menyulut kemarahan mereka, atau waktu Dia dengan keras memukul,
mencambuk orang-orang yang berdagang di Bait Allah. Tetapi, Tuhan Yesus
berkata: Aku lemah lembut (Mat 11: 29). Kelemah lembutan Tuhan Yesus dinyatakan
dalam sikapNya dan tindakanNya yang berbelas kasihan melihat penderitaan orang
lain, sehingga Dia menjamah orang sakit kusta, masuk ke rumah orang berdosa,
menyembuhkan orang yang sakit. Sdr, di tahun yang baru ini marilah kita
mengembangkan sikap lemah lembut ini dengan belajar dari DIA (Mat 11: 29).
Dengan cara itu kita menolong orang lain dan dengan cara itu juga kita
berbahagia. Tuhan Yesus menjanjikan berkat bagi orang yang lemah lembut: Ia
akan memiliki bumi. Orang yang memiliki bumi, tentunya memiliki segala yang
diperlukannya untuk mencukupi hidupnya dengan baik.
"Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran,
karena mereka akan dipuaskan" (Matius 5 : 6)
Tuhan Yesus
berkata tentang: "Haus dan lapar akan kebenaran." Apakah kebenaran
itu? Ada beberapa unsur yang terkandung dalam kebenaran, y.i. kejujuran,
keterbukaan, keadilan, ketulusan dalam perkataan maupun perbuatan. Sayangnya kebenaran
yang dikenal dunia sifatnya relatif. Ada hal-hal yang dulu dianggap benar,
sekarang salah dan ada hal-hal yang dulu salah sekarang dianggap benar. Ada
kelompok masyarakat yang menganggap benar bahkan memuji pengkhianatan, ada pula
kelompok lain yang menganggap percabulan sebagai hal benar. Hal yang benar di
Barat bisa salah di Timur dan sebaliknya. Dengan kata lain, sebenarnya dunia
ini tidak mengetahui kebenaran yang hakiki. Orang yang haus dan lapar akan
kebenaran, tidak akan bisa dipuaskan oleh dunia. Pilatus bertanya kepada Tuhan
Yesus: "Apakah kebenaran itu?" (Yoh 18: 38a). Tuhan Yesus berkata:
"Aku memberi kesaksian tentang kebenaran, ..." (Yoh 18: 37 b)
dan kepada murid-murid-Nya, Tuhan Yesus berkata: "Akulah
Kebenaran" (Yoh 14: 6). Kebenaran adalah Tuhan Yesus sendiri. Orang yang
haus dan lapar, pasti dengan sungguh-sungguh mencari makanan dan minuman untuk
memuaskan dirinya. Begitulah orang yang haus dan lapar akan kebenaran harus
dengan segenap hati datang kepada Tuhan Yesus dan mendengarkan apa yang
difirmankanNya. Dan di hadirat Tuhan Yesus dia mendapat kepuasan yang sejati -
kebahagiaan sejati.
"Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan
beroleh kemurahan" (Matius 5 : 7)
Meski pun
kemurahan hati selalu berkaitan dengan perbuatan baik/ pemberian, namun
kemurahan hati bukan hanya sekedar memberikan sedekah kepada pengemis atau
memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkannya. Misalnya bila di
dompet sdr selalu ada uang beratus-ratus ribu rupiah (tidak pernah merasakan
tanggal tua), maka memberikan sedekah cepek atau gopek kepada pengemis cacat
bukanlah cermin kemurahan hati, atau sdr sedang berjalan-jalan santai lalu
membantu orang jompo menyeberang jalan itu bukan cermin kemurahan hati. Dalam
kemurahan hati terkandung unsur utama mengasihi, belas kasihan dan tanggung
jawab. Tuhan Yesus berkata: "Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu
adalah murah hati" (Lukas 6: 36). Kemurahan hati Bapa di surga dinyatakan
dengan kasih karuniaNya y.i. perbuatanNya yang baik terhadap orang-orang yang
tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat (Luk 6: 35 c). Dulu
saya punya staf yang isterinya lari ke sana sini mencari hutang untuk membeli
beras, staf tsb. dengan nyaman duduk di warung - makan, minum dan merokok. Staf
saya itu tidak murah hati, terhadap keluarganya sendiri ia tidak murah hati,
apalagi terhadap orang lain. Sdr marilah kita mulai bermurah hati kepada
orang-orang terkasih kita y.i. anak, isteri atau suami kita sendiri. Dengan
kasih, belas kasihan dan tanggung jawab utamakan kepentingan atau kebutuhan
mereka, meski pun untuk itu sdr harus mengorbankan kepentingan atau
kebutuhanmu. Lalu perluaslah tindakan seperti itu kepada orang-orang lain yang
Tuhan pertemukan denganmu. Tuhan berjanji, kebahagiaan adalah milik orang yang
murah hati, karena dia pun akan me-nerima kemurahan hati.
"Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena
mereka akan melihat Allah" (Matius
5 : 8)
Bila
sdr. mendengarkan omongan kaum Seleb di T.V., perhatikan mereka ngomong seperti
orang suci saja. Dan celakanya, omongan yang kedengarannya suci itu dipakai
untuk membenarkan perbuatan atau tingkah laku mereka yang benar-benar tidak
suci, misalnya untuk membenarkan perselingkuhannya atau perceraiannya, mereka
bilang: "Tuhan sudah menentukan jodoh saya dengan dia sampai di
sini." Yang mereka lakukan itu adalah "kepalsuan." Tuhan Yesus
berkata, tentang "Suci hatinya", bukan suci perkataannya. Suci
hatinya dinyatakan dalam "Perkataan Yang Suci" disahkan oleh
"Perbuatan Yang Suci" sesuai dengan perkataannya. Orang yang suci
hatinya, tidak mencari-cari perkataan baik agar perbuatannya yang najis
kelihatan suci. Orang yang suci hatinya dengan lugas akan berkata
"ya" kalau memang "ya" dan "tidak" kalau memang
"tidak." Dengan kata lain, dalam kesucian hati terkandung unsur
kejujuran, ketulusan dan kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang mutlak adalah
Tuhan Yesus sendiri, karena itu, hanya orang yang ada di dalam Tuhan Yesus dan
berjalan atau hidup bersama Tuhan Yesuslah bisa suci hatinya, Tuhan Yesus
selalu menyucikannya dengan DarahNya sendiri. Hanya orang yang suci hatinya
seperti itulah yang akan melihat Allah (Ibrani 12: 14b è kejarlah
kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan), dan di
situlah terletak kebahagiaan yang sejati.
"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan
disebut anak-anak Allah" (Matius 5 : 9)
Dalam Mikha
7: 6 dinubuatkan sebagai berikut: "Sebab anak laki-laki menghina ayahnya,
anak perempuan bangkit melawan ibunya, menantu perempuan melawan ibu mertuanya,
musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya." Sesuai nubuatan tersebut berarti
dalam keluarga selalu ada pertengkaran dan kemarahan sehingga dapat dikatakan
tidak ada damai di dalam keluarga. Keluarga tidak damai, masyarakat pnn tidak
damai. Dua hal penting yang menyebabkan tidak ada damai y.i. (1) Perkataan yang
tidak benar, misalnya kebohongan atau perkataan yang kasar dan (2) Perbuatan
yang jahat a.l. KDRT, Tidak setia, Seenaknya sendiri.
Jadi bagaimana kita bisa menjadi
pembawa damai? Yaitu (1) Bila kita menjaga
perkataan. Sesuai Amsal Salomo 15: 1, perkataan yang lemah lembut sangat
berguna untuk membawa damai, asalkan perkataan itu bersumber dari hati yang
tulus. Kalau hati tidak tulus, maka perkataan yang lemah lembut adalah alat
untuk menipu. (2) Perbuatan baik. Sesuai Roma 12: 30, perbuatan baik terhadap
seteru (menolong seteru) berdampak perdamaian (Dengan berbuat demikian kamu
menumpukkan bara api diatas kepalanya). Kemudian tertulis dalam Matius 5: 39
perkataan Tuhan Yesus bahwa, kita harus berbuat baik kepada orang yang berbuat
jahat kepada kita, misalnya dengan mengalah (itulah arti sederhana dari
ungkapan: Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu). Dengan melakukan semuanya itu di rumah, kita adalah pembawa damai di
keluarga dan keluarga yang damai menyebabkan masyarakat damai. Tuhan Yesus
berkata Di situlah kebahagiaan kita, sebab dengan itu kita diakui (disebut)
sebagai anak-anak Allah.
"Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena
Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian
juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu" (Matius 5 : 10 - 12)
Dan yang terakhir Tuhan Yesus
menekankan bahwa kita berbahagia bila kita rela menderita demi kebenaran,
menderita demi Tuhan Yesus dan bila kita rela menanggung fitnah karena kita
hidup dalam Tuhan Yesus. Ini tidak ada kaitannya dengan kaya atau miskin,
tetapi pada sikap hidup yang teguh di dalam Tuhan. Sebab tidak selalu terjadi
orang yang dianiaya itu miskin harta, dan sebaliknya tidak selalu terjadi tidak
ada aniaya berarti kaya. Tuhan Yesus berkata bahwa semua nabi telah dianiaya.
Dan yang pasti Tuhan Yesus berfirman bahwa seperti dunia menganiaya Tuhan
Yesus, begitulah dunia akan menganiaya orang yang mengikut Tuhan Yesus (Yoh 15:
20 è "....... Jikalau
meeka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; .....").
Aniaya dalam tingkat yang paling ringan adalah perlakuan yang berbeda,
diskriminatif terhadap pengikut Tuhan Yesus, atau perlakuan tidak adil -
misalnya hambatan kenaikan pangkat/ jabatan atau hambatan dalam melanjutkan
pendidikan, fitnah (saya pernah mendengar fitnah bahwa orang Kristen itu sex
bebas) dll hambatan yang dibuat untuk menyulitkan pengikut Tuhan Yesus. Dalam
tingkat yang paling berat bisa berarti penjara sampai pembunuhan. Tetapi Tuhan
Yesus berkata, justru dalam aniaya itulah terletak kebahagiaan dan sukacita dan
kegembiraan pengikut-pengikutnya. Bila belum pernah mengalaminya kita tidak
bisa memahami apakah benar orang bisa berbahagia, bersukacita dan bergembira
waktu dianiaya karena Tuhan Yesus. Tetapi selama 2000 tahun sejarah gereja
membuktikan bahwa sampai hari ini orang-orang yang rela menderita aniaya karena
Nama Tuhan Yesus adalah orang yang berbahagia sebagai pemilik kerajaan Surga.